Sabtu, 13 Februari 2016

Mbah Gemblung Dari Lereng Bromo

Nadia
Dilereng gunung Bromo terdapat satu perkampungan penduduk yang masih sangat asri, dan penduduknya pun masih menganut faham kedjawen yang begitu kental. Ditengah kehidupan kampung tersebut banyak sekali aturan aturan yang bila dilihat dengan kacamata ilmu pengetahuan merupakan aturan aturan yang mustahil yang seharusnya sudah tidak perlu untuk diyakini. Hanya beberapa gelintir orang saja yang sudah mulai dengan tatacara kehidupan modern, dan sebagian besar lagi masih totok dengan adat istiadat kampung.

Tersebutlah seorang tokoh spiritual yang sangat disegani oleh seluruh warga diperkampungan itu, Mbah Gemblung yang memiliki arti Mbah Gila. Tapi tidak demikian dengan warga diperkampungan itu menilai, dengan kesaktiannya Mbah Gemblung selalu dijadikan barometer keberhasilan dari setiap hajat ataupun cita cita segenap warga kampung tersebut.

Konon katanya beberapa kepiawaian Mbah Gemblung yang sudah sangat kesohor adalah bisa menggandakan uang, mengobati orang yang kerasukan, ingin punya keturunan, penglaris, pelet dan lain lain. Satu lagi kepiawaian Mbah Gemblung adalah bisa menggampangkan jodoh khususnya bagi gadis gadis perawan ataupun janda. Kepiawaian yang satu inilah yang kerap kali Mbah Gemblung sosialisasikan terhadap para gadis ataupun janda di kampung itu.

Dengan usianya yang sudah lima puluhan Mbah Gemblung masih nampak segar dan gagah diusianya yang sudah setengah abad itu, dan konon katanya lagi dikarenakan kebiasaannya melalap daun daun muda dan rumput rumputan hijau tetangga. Dengan tampangnya yang sangar ditambah sorot matanya yang tajam, serta kulit tubuhnya yang hitam legam kian menambah jogrogan Mbah Gemblung semakin disegani oleh penduduk kampung.

Mbah Gemblung tinggal disebuah rumah berdinding kayu dan terpencil sendiri tanpa rumah rumah lain di sekelilingnya, dengan kamarnya yang telah didisain sedemikian rupa dengan wewangian dupa dan keris keris yang menurut keyakinannya sangat bertuah itu, tergantung rapi di dinding kamarnya yang juga hanya diberi penerangan lampu teplok, kian menambah keangkeran praktek perdukunan yang sudah puluhan tahun digelutinya.

Ada saja tamu yang berdatangan kerumah Mbah Gemblung setiap harinya, bahkan tidak sedikit pula yang sengaja datang dari Jakarta ataupun kota kota besar lainnya, hal ini karena kemasyuran nama besar Mbah Gemblung dikalangan masyarakat kampung tersebut hingga kekota kota besar di pulau jawa. Seperti pagi itu tampak didepan rumah Mbah Gemblung terparkir sebuah sedan mewah Jaguar berplat nomor polisi leter-B, milik seorang tamunya wanita cantik nan seksi dari Jakarta, yang sehari sebelumnya sudah menginap di kota Malang.

Pagi itu Mbah Gemblung merasa seperti yang habis menang lotre saja, dengan datangnya tamu seorang wanita yang sangat cantik dan seksi itu kerumahnya. Dengan bentuk tubuhnya yang sintal, kulitnya yang putih mulus, dan buah dadanya yang montok teronggok didadanya serta bentuk pantatnya yang demplon nan bohay membuat Mbah Gemblung sesekali menelan air liurnya. “…cleguk…glegk…” Didalam kamarnya Mbah Gemblung mulai memberikan wejangan spiritualnya kepada tamu wanitanya tersebut, yang mengenalkan dirinya bernama Nadia yang tinggal di Bilangan Tebet Jakarta Selatan.

Disamping piawai dibidang pengobatan dan lainnya, Mbah Gemblung juga piawai memperdayai setiap wanita yang datang untuk meminta pertolongannya. Dan dihadapan tamunya kali inipun Mbah Gemblung sudah mulai menampakkan taring birahinya.

Lalu dengan keramahannya Mbah Gemblung mulai menanyakan maksud ataupun keinginan dari tamunya tersebut, “…Jeng Nadia ini ada keperluan apa jauh jauh datang kerumah Mbah…?...monggo dijelaskan…!” kata

Mbah Gemblung dengan sorot matanya yang seakan menelanjangi tubuh Jeng Nadia tamunya itu.
Dengan suaranya yang lembut Jeng Nadia menjawab dengan malu malu,

“…anu Mbah…saya kepengen segera memiliki keturunan…!”

Dengan mengelusi jenggotnya dan sambil manggut manggut dijawabnya, “…ooohh…itu sih bisa Mbah bantu…asalkan Jeng Nadia mau menuruti semua yang nanti Mbah syaratkan…!”

Lalu dijawab lagi oleh Jeng Nadia, “…iya Mbah saya akan menuruti semua persyaratan yang Mbah minta…!”

Dan dijelaskan oleh Mbah Gemblung rincian ritual apa saja yang harus dijalankan, “…karena proses ritualnya yang tidak sebentar, maka Jeng Nadia harus bersedia bermalam dirumah Mbah, lalu nanti Jeng Nadia akan saya mandikan dengan air kembang setaman, lalu setelah Jeng Nadia mandi Mbah mulai dengan ritual penerapan ilmu Mbah ketubuh Jeng Nadia…gimana apa Jeng Nadia bersedia menuruti persyaratan tadi…?” jelas Mbah Gemblung dengan dengan matanya kearah belahan buah dada Jeng Nadia yang terlihat menggiurkan dengan baju tanktopnya yang berleher rendah yang dilapisi dengan Blazernya.

“…ii..iya…Mbah…saya bersedia…!” jawab Jeng Nadia dengan terbata.

Setelah penjelasannya tadi kemudian Mbah Gemblung meminta tamunya tersebut, untuk menyuruh sopirnya yang sedari tadi menunggu diluar untuk kembali ke penginapannya di kota Malang, dan kembali lagi besok siang. Hal ini hanya merupakan salah satu trik dari Mbah Gemblung, agar lebih leluasa memperdayai Jeng Nadia tamu wanitanya itu.

Sepeninggal Mang Yogi sopirnya, Nadia masuk kembali kedalam kamar Mbah Gemblung, dengan berdiri di samping pintu kamar ia pun menunggu Mbah Gemblung yang sedang mempersiapkan peralatan dukunnya, untuk ritual pengobatannya kepada tamunya. Setelah selesai kemudian Mbah Gemblung menghampiri tamunya dengan sorot matanya yang menyisir seluruh tubuh sempurna Nadia,

“…hhhmm…ayune…kowe nduk…susumu jan montok tenan…lan…bokongmu iki yo…apik…!” kata Mbah Gemblung dalam hatinya.

Mbah Gemblung meminta Nadia untuk segera mandi air kembang setaman, dengan menanggalkan seluruh pakaiannya, dan menggantinya dengan balutan kain kemben batik, yang merupakan syarat pertama yang diminta oleh Mbah Gemblung untuk prosesi ritualnya kepada jeng Nadia. Dengan sedikit malu Jeng Nadia menuruti semua yang diperintahkan oleh Mbah Gemblung, dengan menunggu diluar kamar, Mbah Gemblung mengintip Jeng Nadia yang sedang membuka seluruh pakaiannya, untuk menggantinya dengan berkemben kain jarik batik.

Mbah Gemblung dengan hati berdebar dan dengan sorot matanya yang tidak berkedip, demi melihat tubuh pasiennya kali ini yang begitu sempurnanya, dengan kulitnya yang putih nan mulus, buah dadanya yang berukuran 36B mengembul menantang, dan dengan bongkahan pantatnya yang demplon bin bohay itu semakin membangkitan gairah birahinya. Jeng Nadia telah selesai bersalin pakaiannya dan kini ia sudah dengan hanya balutan kain kemben batik ditubuhnya, kain kembennya terbelit mengikuti lekukan lekukan ditubuhnya dan semakin membuat terangsang Mbah Gemblung yang sedari tadi mengintipnya dari luar kamar.

Mbah Gemblung menuntun Jeng Nadia kekamar mandi untuk ritual penyucian. Jeng Nadia menuruti semua arahan dan penjelasan yang diberikan oleh Mbah Gemblung. Dengan duduk di bale bambu yang ada dikamar mandi khusus tempat ritual penyucian itu, Mbah Gemblung mulai menyirami tubuh Jeng Nadia yang masih berkemben itu dengan air kembang setaman. Mulai dari kepala Jeng Nadia Mbah Gemblung menyirami dengan gayung batok kelapa sambil mulutnya komat kamit seraya merapalkan mantera manteranya, Jeng Nadia hanya diam mengikuti rangkaian ritual penyucian yang lakukan oleh Mbah Gemblung.

Kain kemben Jeng Nadia yang sudah basah semakin melekat erat mengikuti seluruh lekukkan ditubuhnya, dan hal ini semakin membuat Mbah Gemblung semakin terangsang oleh keseksian tubuh pasiennya ini. Setelah menyirami tubuh Jeng Nadia kini Mbah Gemblung mulai memegangi kepala Jeng Nadia dari depannya, dengan terus berkomat kamit tangan Mbah Gemblung terus turun keleher jenjangnya, terus turun lagi kepundak Jeng Nadia, seraya berkata.

“…Mbah minta ijin untuk menerapkan ilmu kesaktian Mbah ketubuh Jeng Nadia, dan Mbah meminta maaf karena harus menerapkannya dengan cara menekan dan memijit keseluruh tubuh Jeng Nadia…!” demikian Mbah Gemblung meyakinkan Jeng Nadia agar ilmu kesaktiannya dapat menyerap ke tubuhnya. Jeng Nadia yang awam dan tidak mengerti ilmu perdukunan, hanya bisa mengikuti dan merelakan tubuhnya disentuh oleh Mbah Gemblung. Lalu dengan pelan menjawab, “…saya akan menuruti semua proses ritual yang Mbah lakukan terhadap saya…” dan kemudian dengan senyumnya Mbah Gemblung berkata lagi,

“…bagus…bagus…nduk…dengan begitu Mbah akan lebih mudah menerapkan ilmu Mbah ketubuhmu…dan Mbah tambahkan lagi, penerapan yang Mbah lakukan tidak hanya dengan tangan Mbah tapi juga dengan mulut Mbah agar penerapan ilmu Mbah lebih sempurna terserap ketubuh Jeng Nadia…!

Nadia hanya mengangguk mendengarkan semua penjelasan Mbah Gemblung tadi, dan setelah memberi penjelasan kepada pasiennya Mbah Gemblung mulai kembali dengan ritual penerapan ilmunya dengan memijat seluruh tubuh Jeng Nadia mulai dari pundaknya kemudian turun kedadanya, Jeng Nadia sedikit menggeliat ketika tangan Mbah Gemblung mulai mengusapi dan memijit mijit buah dadanya yang montok.

Mbah Gemblung lalu jongkok didepan Jeng Nadia yang dan mendekatkan wajahnya kebuah dada Jeng Nadia, dengan tangannya kini mulai membuka ikatan kain kemben di dada Jeng Nadia. Jeng Nadia hanya memejamkan matanya ketika mulut Mbah Gemblung komat kamit merapalkan mantera persis di belahan buah dada montok Jeng Nadia, lalu lidah Mbah Gemblung mulai menjilati permukaan kulit buah dada Jeng Nadia. Jeng Nadia mulai merasakan adanya keganjilan didalam proses ritual yang dilakukan oleh Mbah Gemblung, dan bertanya kepada Mbah Gemblung,


mbah kenapa harus gini segala…?” Tanya Jeng Nadia dengan heran.
Lalu dijawab oleh Mbah Gemblung, “…hal ini Mbah Lakukan, agar kelak nanti Jeng Nadia memiliki keturunan, air susumu akan lancar dan berlimpah ketika nanti menyusui anakmu…begitu…kamu faham…?!”

Dengan mengganguk Jeng Nadia menerima penjelasan Mbah Gemblung, walaupun didalam hatinya sulit untuk menerima perlakuan Mbah Gemblung atas buah dadanya yang selama ini hanya suaminya yang pernah memperlakukan demikian. Dan Nadia kini hanya pasrah dengan perlakuan Mbah Gemblung terhadap tubuh seksinya, yang kini direbahkan terlentang diatas dipan bambu.

Mbah Gemblung yang kini duduk ditepi ranjang mulai dengan tangannya menggerayangi seluruh lekukan tubuh seksi pasiennya, dan dengan mulutnya yang tidak berhenti komat kamit. Lalu Mbah Gemblung mulai lagi membacakan mantera manteranya dengan mulutnya yang menempel dan menyusuri tubuh Jeng Nadia mulai dari leher hingga ke kulit pahanya. Jeng Nadia yang hanya diam kini mulai tergelitik menahan geli ketika kumis Mbah Gemblung menyapu permukaan kulit pahanya dan hal ini diketahui oleh Mbah Gemblung, yang mulai menyeringai dan menahan air liurnya yang mulai deras mengalir dirongga mulutnya

”…cleguk…gleg…ssrruuuppff…”

Tangan Mbah Gemblung mulai meraba keselangkangan Jeng Nadia dan kemudian dengan mulutnya yang berkomat kamit di depan vagina Jeng Nadia dengan sesekali meniup keliang vaginanya. Jeng Nadia mulai mendesah dan merintih kecil ketika lidah Mbah Gemblung menjilat dan menyapu belahan vaginanya, dengan kedua tangannya kini memegang dan meremasi buah pantat Jeng Nadia, Mbah Gemblung terus menjilati liang vagina Jeng Nadia. “…ssshhhsss…” Jeng Nadia mendesis.

Jari tengah Mbah Gemblung mulai masuk kedalam vagina Jeng Nadia dan menekan semakin dalam dengan mengorek dinding vaginanya yang basah, tubuh Jeng Nadia menggelinjang dan menggeliat diatas dipan diperlakukan seperti itu oleh Mbah Gemblung…”…aaahhh…ssshhhss..ooohhh…!” Jeng Nadia mengerang dan mendesah.

Mbah Gemblung kemudian menghentikan aktifitasnya lalu berkata, “…jeng …gimana kamu mau punya keturunan, la wong pintu rahimmu tertutup dan terlalu kecil begitu…mana mungkin untuk bisa di buahi oleh sperma suamimu…!” kata Mbah Gemblung.

Dengan raut muka yang penuh keheranan lalu Jeng Nadia bertanya, “…lalu harus gimana Mbah…?
Lalu dengan santai dijawab oleh Mbah Gemblung, “…kalau untuk membuka dan memperbesar pintu rahim Jeng Nadia dengan jari Mbah, tidak akan sampai karena jari Mbah yang kurang panjang…ada satu satunya cara yaitu dengan kemaluan Mbah yang sudah tentu lebih panjang dari jarinya Mbah…dan itu terserah kapada Jeng Nadia mau dilanjutkan atau tidak Mba tidak bisa memaksa…!”

Dengan raut muka yang terlihat putus asa lalu Jeng Nadia berkata lagi, “…saya takut Mbah…dan saya khawatir malah akan terhamili oleh benihnya Mbah…”

lalu dengan meyakinkan Mbah Gemblung kembali menjelaskan, “…Jeng Nadia ndak usah kuatir akan hal itu, karena dengan kesaktian Mbah akan mematikan sel sel hidup di cairannya Mbah, jadi tidak akan bisa menghamili Jeng Nadia…gimana Jeng…?!”

Akhirnya dengan berat hati jeng Nadia menerima tawaran Mbah Gemblung untuk membuka dan memperbesar pintu rahimnya dengan menggunakan kemaluan Mbah Gemblung, “…yah sudah kalau memang demikian saya manut apa kata Mbah…”

lalu dengan manggut manggut Mbah Gemblung menambahkan dengan katanya, “…poko’e sing penting ge’ ndang waras…iya toh Jeng…wes manuto karo si-Mbah…?!”

kemudian Mbah Gemblung meminta Jeng Nadia untuk mengganti kain kemben yang sudah basah sehabis penyucian tadi, dengan kain kemben yang baru dikamar. Lalu dimulailah ritual pembukaan dan ritual pembesaran pintu rahim Jeng Nadia, dengan kembali berkomat kamit mulai tangan Mbah Gemblung merabai seluruh lekukkan tubuh seksi Jeng Nadia.

Jeng Nadia yang sudah terlentang diatas ranjang kecil mulai mendesah dan merintih ketika lidah Mbah Gemblung mulai menjilat dan menyusuri leher jenjangnya yang mulus, dan dengan kedua tangannya Mbah Gemblung meremasi buah dada montok Jeng Nadia. Ketika jilatan Mbah Gemblung turun ke buah dadanya dan mulai mengenyoti putting susunya Jeng Nadia semakin terangsang libidonya, dengan kini tanganya mulai meremasi kain sprei.

Mbah Gemblung dengan pengalamannya sudah tahu daerah sensitif ditubuh seorang wanita, dapat dengan mudah membangkitkan gejolak birahi ditubuh Jeng Nadia, dan kini dengan melucuti seluruh pakaian Mbah Gemblung mulai mengarahkan batang penisnya yang panjang besar dan berurat itu keliang vagina Jeng Nadia. Mula mula digesek gesekkan penis Mbah Gemblung membelah dan menggerus bibir vagina Jeng Nadia yang sudah basah, lalu dengan perlahan Mbah Gemblung menekan penisnya masuk keliang vaginanya…”…aaahh…Mbaahhh…sakiiitt…ooohhh…pelan-pell..an...” jerit Jeng Nadia mengiringi tembusnya vagina Jeng Nadia oleh batang kontol Mbah Gemblung.

Lalu Mbah Gemblung mulai memaju mundurkan batang kontolnya dengan perlahan lahan diliang vagina Jeng Nadia yang terasa sempit oleh dimasuki kontol Mbah Gemblung yang panjang dan besar itu, dan semakin lama genjotan kontol Mbah Gemblung semakin kencang dan kasar, hingga tubuh Jeng Nadia makin terlonjak dan terhentak hentak dengan kerasnya.

“…huah…hah…ssshhh…ehg…huah…!” suara Mbah Gemblung mengiringi genjotan kontolnya diliang vagina Jeng Nadia.

Jeng Nadia yang semula berat hati untuk disenggamai oleh Mbah Gemblung, kini mulai ikut menikmati tikaman tikaman maut batang kontol Mbah Gemblung, dengan tangannya yang kini mulai meremasi kepala Mbah Gemblung yang tengah merangsek buah dadanya dengan rakus. Hilanglah harga diri dan kehormatan Jeng Nadia setelah dirinya sekarang berhasil di tunggangi Mbah Gemblung yang dukun cabul itu,

“…oooohhhh…ssshhh…Mbaaaahhh….aaahhh…ssshhh…” desahan Jeng Nadia semakin memicu kebringasan nafsu birahi Mbah Gemblung.

Kemudian setelah setengah jam Mbah Gemblung menggumuli sekaligus merengkuh kenikmatan tubuh Jeng Nadia, diapun mengakhiri pelampiasan birahinya dengan satu sentakkan dan erangan panjang mengiringi semburan air maninya di rahim Jeng Nadia, “…aaarrggghhh…Jeeeng…Sriiii….crot…crot…crot…!”

Dan tubuh Mbah Gemblung ambruk diatas tubuh seksi Jeng Nadia dengan bermandi peluh, mulai Jeng Nadia dengan penyesalannya yang sudah terlambat dan menitikkan air mata dikedua ujung matanya. Mbah Gemblung tau akan hal ini lalu dengan santainya Mbah Gemblung memberi penjelasan kepada Jeng Nadia,

“…ora opo opo Jeng…ora usah kuatir yo…sing penting ge’ndang waras, iso nduwe keturunan…!”
Saat itu tidak terasa sudah menjelang maghrib, dan atas saran Mbah Gemblung Jeng Nadia kembali dimandikan dengan air kembang setaman. Seperti halnya proses penyucian tadi siang kali ini pun Jeng Nadia kembali diperlakukan Mbah Gemblung secara cabul, dan dengan berbagai alasan dan dalihnya untuk kembali menikmati tubuh seksi tamunya dari Jakarta itu.

Kali ini dengan posisi berdiri di belakang Jeng Nadia Mbah Gemblung tengah menghujani tengkuk dan leher janjang Jeng Nadia dengan jilatan jilatan peenuh nafsu, seraya tangannya yang tidak bosan bosannya meremas remas buah dada Jeng Nadia.

Dan mulailah Mbah Gemblung meminta pasiennya itu untuk sedikit membungkukkan tubuhnya dan membuka kedua kakinya, lalu dengan perlahan Mbah Gemblung mengarahkan batang kontolnya keliang kenikmatan Jeng Nadia, dan dengan sekali tekanan kuat masuklah seluruh batang kontol Mbah Gemblung diliang vagina Jeng Nadia. “…aarrrggghh…ssshhh…tahan yo nduk…?!” racaunya ditelinga Jeng Nadia.

Jeng Nadia hanya pasrah diperlakukan seperti itu oleh Mbah Gemblung, pikirnya nasi sudah menjadi bubur, maka yang dilakukan kini hanya pasrah menerima rabaan, remasan, dan sodokkan sodokkan dari Mbah Gemblung. Mbah Gemblung yang merasa sudah menundukkan korbannya, semakin seenaknya memperlakukan tubuh seksi Jeng Nadia dengan berbagai macam cara dan metode penggarapan atas tubuh seksi pasiennya itu hingga sampai klimaksnya.

“…aaarrrggghh…ssshhh….crot…crot…crot…!”

Dan menjelang tengah malam dengan alasan untuk menyempurnakan ilmu yang diterapkan ditubuhnya, kamudian Mbah Gemblung meminta Jeng Nadia untuk mengulum dan menyepong kontol Mbah Gemblung, serta menelan habis cairan spermanya. Dengan menahan rasa jijik Jeng Nadia menelan semua sperma Mbah Gemblung yang menyembur didalam mulutnya,

“…aaarrrggghh…bagus…bagus…nduk…telan semuanya…!” kata Mbah Gemblung sambil memegang kepala dan meremasi rambut Jeng Nadia.

Hingga pagi menjelang Mbah Gemblung tidak bosan bosannya terus menggarap kemolekkan tubuh Jeng Nadia, yang sudah kepayahan menahan gempuran gempuran dari Rudal Palkon Mbah Gemblung.

Seperti yang sudah dipesankan kemarin Mang Yogi pun datang pada siang harinya, dan kedatangannya belum diketahui oleh Jeng Nadia karena sedan Jaguarnya yang nyaris tidak mengeluarkan suara, setelah memarkirkan mobilnya Mang Yogi kemudian duduk di dipan bambu yang ada di teras rumah Mbah Gemblung.

Dan ketika sedang asyik dengan rokok kreteknya Mang Yogi lamat lamat mendengar suara majikannya yang masih didalam kamar Mbah Gemblung, lalu iseng iseng diapun mencari cari celah didinding papan rumah Mbah Gemblung. Dan betapa kagetnya Mang Yogi setelah menemukan lubang kecil didinding kayu rumah Mbah Gemblung, dia dapat melihat jelas kedalam kamar menyaksikan majikannya yang sedang disebadani oleh Mbah Gemblung.

Dengan sesekali menelan ludah Mang Yogi terus menyaksikan tubuh majikannya yang seksi bin mulus itu sedang dikerjai oleh Mbah Gemblung, dengan tanpa terasa Mang Yogi pun mulai hanyut terbawa suasana didalam kamar dan penisnya pun kini mulai menegang. Hingga akhir persetubuhan majikannya denga Mbah Gemblung, Mang Yogi masih mengelusi batang kontolnya, dan baru kali ini dia melihat bentuk tubuh seksi majikannya, dengan hanya terbalut kain kemben yang sudah awut awutan sehabis digumuli diatas ranjang oleh Mbah Gemblung.

Setengah jam kemudian Jeng Nadia pun keluar dari rumah Mbah Gemblung, dan pamit untuk kembali ke Jakarta.

“…kulo pamit yo Mbah…?!’ kata Jeng Nadia diteras rmah Mbah Gemblung.

“…iyo nduk sing ati ati ning dalan…inget pesene simbah yo…?!” dengan senyumannya Mbah Gemblung menyambut tangan Jeng Nadia bersalaman.

Dalam perjalanan kembali kepenginapannya di kota malang Jeng Nadia hanya melamun dikursi belakang mobilnya, sementara Mang Yogi yang mengemudikan mobil tengah asyik dengan hayalan dan fantasi sexnya bersama majikannya. Sesekali Mang Yogi melirik majikannya yang sudah tertidur melalui kaca spion didepannya, dan terkadang sengaja membungkuk untuk mengintip paha mulus majikannya yang memakai rok ketat diatas lutut yang baru kali ini nekat dilakukannya setelah tadi sempat menyaksikan tubuh mulus nan seksi majikannya di gauli oleh Mbah Gemblung.

Dan hayalan Mang Yogi terus berlanjut hingga sampai kepenginapan, dan ketika didepan kamar majikannya Mang Yogi pun memaksa ikut masuk kedalam, dan hal ini membuat marah Jeng Nadia.

“…Mang Yogi apa yang kamu lakukan…berani beraninya masuk ke kamar saya…!” hardik Jeng Nadia dengan matanya melotot kearah Mang Yogi.

Lalu dengan santai dijawab oleh Mang Yogi, “…sudahlah Nyonya…ga perlu pake marah marah kale…!?

“…apa maksud kamu kacung sialan !!!…beraninya kamu kurang ajar kepada saya…?!” bentak Jeng Nadia kepada Sopirnya.

“…saya tau kok tadi nyonya ngapain sama Mbah dukun Gemblung itu…ngewe kan Nyah…hehehe…saya jadi kepengen nyicipin punya Nyonya…!” jawab Mang Yogi dengan tenang.

Bagai mendengar halilintar disiang bolong teling Jeng Nadia, demi mendengar ucapan sopirnya itu, lalu kegelisahan mulai melanda hati Jeng Nadia, serba salah dan bingung…lalu katanya dengan mulai terisak.

“…plis…Mang jangan paksa saya…saya mohon Mang, nanti saya kasih uang berapapun yang Mang Yogi minta…!” katanya dengan memelas.

Lalu dijawab oleh Mang Yogi seraya menghampiri majikannya itu, “…yang saya butuhkan sekarang adalah memeknya Nyonya…kalo Nyonya mau aman…layani saya…!”

Nadia tidak bisa menolak keinginan sopirnya itu, dan tidak ada jalan lain selain melayani keinginannya, keutuhan rumah tangganya yang menjadi taruhannya, kalo sampai sopirnya itu membuka aibnya dihadapan Mas Woko suaminya. Dan mungkin ia tidak akan lagi bisa menikmati semua fasilitas yang serba mewah dari suaminya yang eksekutif muda itu bila sampai ia diceraikan, demi mempertimbangkan hal itu akhirnya dengan berat hati ia pun bersedia melayani Mang Yogi sopirnya atas pertimbangan hal tadi.

Nadia hanya bisa diam dan menitikkan air matanya saja, ketika Mang Yogi sopirnya itu tiba tiba sudah memeluknya dari belakang, dengan penisnya yang sudah diluar celananya digesek gesekkan kepantatnya yang masih memakai rok ketat berbahan halus. Dengan perasaan hatinya yang hancur setelah sehari semalam menjadi budak nafsu Mbah Gemblung sidukun cabul itu, kini kembali harus menjadikan tubuh seksinya sebagai sarana pemuas hajat syahwat sopir pribadinya.

Nadia tidak bisa menolak ketika Mang Yogi kini tengah menjilati leher jenjangnya dengan tangan Mang Yogi yang juga aktif membuka satu persatu kancing bajunya, Mang Yogi pun dengan tergesa gesa mulai membuka pakaiannya hingga yang tersisa sempaknya yang sudah pada bolong disana sini. Mang Yogi dengan penuh nafsu terus menggesekkan kontolnya di panntat majikannya itu, dan dengan mulut dan lidahnya menyusuri kulit mulus punggung majikannya.

“…aaahhh…kulit Nyonya mulus banget…ngga kaya kulit istri saya yang kasar dan panuan…ooohhh…sshhh…!” racau Mang Yogi ditelinga majikannya.

Setelah sekian lama Mang Yogi menjadi sopir pribadinya tidak pernah terlintas sebelumnya untuk dapat mencicipi tubuh Nadia majikannya itu, dan sore itu dimana seharusnya dia sudah menyopiri majikannya untuk pulang ke Jakarta, kini ia pun tengah menyopiri nafsu sexnya diatas tubuh majikannya.

Sungguh penderitaan Nadia begitu berat dirasakannya, setelah tertipu oleh seorang dukun cabul kini ia pun harus menerima kenyataan sopir pribadinya yang sudah sekian lama ia percayai, kini dengan bebasnya memperlakukan tubuh seksinya dengan kasar tak ubahnya seperti pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga. Dalam batin Nadia menyesali nasibnya yang tidak beruntung, dan ditengah gempuran Mang Yogi yang kini sudah merebahkan tubuhnya diatas ranjang, Nadia Berbisik dalam hatinya,

“…Mas Woko…maafkan aku Mas…”

Dengan sudah menelanjangi tubuh majikannya, kini Mang Yogi sudah menindih tubuh majikannya itu dan dengan rakusnya melumat bibir sensual majikannya dengan tangannya yang terus meremasi buah dadanya yang begitu montok dan sangat menggiurkan itu. Lidah Mang Yogi kini menjilati seluruh permukaan kulit halus nan mulus buah dada Nadia, dan terus turun jilatannya sampai keperut dan turun lagi kepaha dan selangkangan majikannya, lalu dengan lidahnya mulai merambah rimbunnya belantara kenikmatan majikannya dengan sangat nafsu.

“…ssllrrruuppff…ssshhh…memek Nyonya enak banget…kayak rawon setan…!” racau Mang Yogi seenak dengkulnya.

Nadia hanya diam dan menitikkan air matanya, dikurang ajari oleh sopir pribadinya itu, dan tangisannya kian terdengar ketika denga kasar memeknya sudah dijejali batang kontol sopirnya itu, dan menggenjotnya dengan seenaknya kasar dan brutal, layaknya seperti orang yang sedang diperkosa.
Mang Yogi terus dengan sodokkan dan tikamannya diliang memek majikannya dengan tangannya yang terus mengemudi di buah dada majikannya, dan dengan lolongan panjang disudahinya dengan memuncratkan spermanya dirahim Nadia majikannya yang dia tau dengan keberangkatannya ke lereng Bromo untuk bisa segera memiliki keturunan.

“…aaahhh…jangan didalam Maaanng…ooohhh…!” jeritan Nadia melarang sopirnya itu untuk memasukkan benih dirahimnya.

“…ooohhhssshhh…crot…crot…crot…enakan dilam Nyah, siapa tau nanti Nyonya bisa hamil sama benih dari saya…hehehe…!” kata Mang Yogi dengan seenaknya.
Betapa kian hancur hati Nadia menerima kenyataan pahit harus menerima masuknya benih dari sopirnya didalam rahimnya, dan sebelumnya pun sudah dimasuki benih dukun cabul sialan itu. Tangisan Nadia kian terdengar dan menyisakan keperihan yang berkepanjangan di relung hatinya, ia serasa tak kuasa lagi menahan nestapa yang semakin mengoyak kisi kisi dalam hatinya.

Dan ditengah malam itu disaat sedang terlelap tidur Nadia bangun ketika dirasakan tubuhnya ada yang menindihnya, Mang Yogi rupanya ingin menghabiskan malam itu diranjang bersama majikannya yang super cantik dan seksi itu. Nadia tidak kuasa menolak nafsu birahi sopirnya itu, ia hanya diam dan pasrah ketika kembali ditelanjangi dan selanjutnya digumuli dengan penuh nafsu oleh Mang Yogi. Dan untuk kedua kalinya Mang Yogi sopirnya itu menitipkan benih dirahimnya, yang bisa saja membuahkan kehamilan setelah sebelumnya telah menyimpan pula benih dari Mbah Gemblung dukun cabul itu.

Pagi itu Nadia berangkat ke Jakarta dengan Mang Yogi sopirnya, yang kini mengemudi dengan hatinya yang sangat puas setelah merengkuh kehangatan tubuh seksi majikannya semalaman. Nadia hanya diam dan mulai tidur selama perjalananya menuju rumahnya di Jakarta, dan tanpa disadarinya kesalahan telah terjadi lagi pada dirinya, disaat dalam tidurnya rok panjangnya tersingkap hingga menampakkan kulit pahanya yang mulus.

Mang Yogi yang menyaksikan majikannya tidur dengan paha mulusnya yang terbuka, kembali dirasuki hawa nafsu binatangnya yang sudah tidak lagi memandang norma norma kesopanan terhadap majikannya yang sudah sekian lama menghidupi keluarganya. Dia pun akhirnya membelokkan mobilnya masuk dipinggiran hutan Alas Roban yang sudah terkenal dengan kerawanannya, setelah menghentikan mobilnya lalu ia pun membuka pintu belakang dan kemudian dengan secara paksa menyerang majikannya yang masih tertidur itu.

“…Mang cukup Mang saya ngga mauuu…aaahh…jangan Mang…!” jeritan Nadia kepada sopirnya, yang sudah seperti kesetanan terus mengujani dengan ciuman ciumannya di wajah dan bibirnya. Mang Yogi mulai membuka paksa baju atasan majikannya, dan kini hanya menyisakan BH dan rok panjangnya, Nadia sungguh tidak kuasa melakukan perlawanan dan tenaganya habis.

“…sekali lagi ya Nyah…abis Nyonya sih tidurnya ngongkong, jadi ngaceng lagi deh kontol saya…hehehe…!” kata Mang Yogi seenak udelnya.

Lalu dengan leluasa Mang Yogi mulai menurunkan tali BH di pundak majikannya, dan terus mengenyoti putting susunya dengan rakus, dan tangannya turun kearah selangkangan majikannya lalu dengan kasar menurunkan CDnya hingga sobek dan putus karetnya. Kemudian Mang Yogi membuka kedua paha majikannya itu dengan dengkulnya, lalu dengan tangannya menuntun batang kontolnya keliang vagina majikannya dan dengan sekali dorongan masuklah seluruh kontolnya ditelan kegelapan goa diselangkangan majikannya itu.

“…aahh…oohh…ssshh…enaknya memek Nyonyah…ssshh…!” racau Mang Yogi mulai terdengar disela genjotan batang kontolnya, Nadia kembali dengan isak tangisnya yang tidak menyangka akan diperkosa oleh sopirnya itu. Dan Mang Yogi sudah mulai ingin menuntaskan hajatnya dengan mempercepat genjotannya dan akhirnya sampailah ia di penghujung sodokkannya dengan kembali menyirami rahim majikannya dengan air maninya.

“…aaahhh…crot…crot…crot…!” dan dengan santainya ia berucap dengan asal ngejeplak, “…makasih ya Nyah…udah ngerepotin lagi nih…!”

Nadia segera membersihkan sisa sisa cairan Mang Yogi di vagina dan selangkangannya dengan tissue, dia tidak mau sampai ketahuan suaminya baru di senggamai sopirnya. Mang Yogi jongkok di belakang mobil dan menikmati rokok kreteknya, sambil tersenyum puas setelah merangsek tubuh majikannya yang seksi itu.

Tanpa disadari oleh Mang Yogi maupun Nadia, dirimbunnya pepohonan di pinggir hutan itu lima pasang mata tengah memperhatikannya sedari tadi. Rupanya mereka adalah kawanan rampok yang biasa menghadang dan merampok mobil mobil yang lewat dihutan itu, dan mereka sudah cukup lama memperhatikan sejak kedatangan mobil mewah yang sengaja diparkir oleh Mang Yogi dipinggiran hutan itu.

Dengan satu komando dari gembongnya mereka lalu menyergap Mang Yogi dari belakang dan langsung menempelkan goloknya dileher Mang Yogi, dan yang lain langsung mengerumuni mobil yang masih ada Nadia, di dalamnya tengah merapihkan pakaiannya sehabis di setubuhi sopirnya. Betapa kaget dan ngerinya Nadia dengan kedatangan segerombolan perampok yang bertampang sangar dan menyeramkan itu, dengan golok di ditangannya masing masing.

“…harta atau nyawa…!!!...kalo mau pada selamet turuti perintah kami…!” kata gembongnya yang bertubuh paling besar dengan kumisnya yang mbaplang.

“…tolooong…!” jerit Nadia ketakutan.

“…diam…!!!...atau saya matiin semua…!!!” perampok itu membentak Nadia yang gemetaran saking takutnya.

Mang Yogi yang sudah disergap lebih dulu oleh perampok perampok itu, diikat disebuah pohon dan di sumpal mulutnya dengan kaos kakinya yang tadi dibuka paksa oleh salah seorang dari perampok itu. Mang Yogi hanya bisa menyaksikan tanpa bisa berbuat apa apa, ketika kelima perampok itu mengerumini mobilnya dan dengan kasar menarik keluar Nadia dari dalam mobilnya.

Lalu dengan satu isarat gembong rampok itu menyuruh menggeledah isi mobil dan mengambil barang barang berharga milik Nadia, dan gembong rampok itu dengan mudah menaklukkan Nadia dan menghimpit tubuhnya ke bagasi mobil.

“…wah…wah…wah…wah…ayune kowe nduk…langsung ngaceng kontolku…!” katanya didepan wajah Nadia yang semakin gemetar ketakutan.

Lalu disambut tertawa oleh perampok perampok lainnya yang baru saja mengobrak abrik dan mengambil semua barang berharga yang ada didalam mobil, “…ha…ha…ha…ha…kita jadikan teman tidur kita malam ini Kang…!” kata salah seorang perampok itu, yang langsung disambut dengan terbahak bahak oleh teman temannya yang lain,

“…ha…ha…ha…asyiiiik…bisa ngrasain memek Jakarta kita nih…!” kata perampok yang lain.

“…bener…Kang malam ini kita pesta memek orang Jakarta…!” kata perampok satunya lagi.
Nadia langsung bergidik mendengar ocehan para perampok itu, dan tangisannya mulai terdengar memilukan.

“…jangan pak jangan perkosa saya…saya mohon pak…ambil saja yang bapak bapak mau…tapi jangan perkosa saya pak…tolong pak…saya mohon pak…!” rintihan memelas Nadia, yang disambut tawa mereka secara bersamaan.

“…huahahahaha…huahahahaha…!!!”

Dengan disaksikan keempat anak buahnya, sigembong perampok itu mulai memperkosa Nadia dengan kasar, dengan dihimpit dibagasi mobil sedan mewahnya, satu persatu pakaian Nadia direnggut dan sobek sobek dengan kasar, dan Nadia tidak bisa berbuat apa apa dan ketika dengan rakusnya gembong perampok itu mulai melumat bibirnya yang bergincu warna pink, dan terus turun menjilati lehernya yang putih dan mulus itu.

Sungguh kontras terlihat dengan tubuh Nadia yang berkulit putih dan mulus, sedang di geluti oleh gembong perampok yang berkulit hitam dan berbadan besar itu. Dengan dekali sentakkan direnggutnya BH Triump Nadia, lalu dengan rakusnya menjilati dan mengenyoti buah dada Nadia yang sudah terbuka. Dan tangan gembong perampok itu turun kearah selangkangan Nadia, dan kembali dengan kasar menarik robek CDnya, lalu dengan jari tangannya yang kasar mulai mengorek dan mengobel isi daleman vagina Nadia.

Lalu dengan kasarnya membalikkan tubuh Nadia menghadap kearah bagasi mobilnya, lalu gembong perampok itu berjongkok dan menyingkap rok panjangnya yang bermotif batik itu, lalu dengan rakusnya menjilati bongkahan pantat Nadia yang sangat mulus itu, lalu dengan kasar pula membuka kedua kaki Nadia dan lidahnya mulai menjilat jilat menggapai vaginanya dari arah belakang.

“…uena’e rek…! Tempik mu legit tenan Mba’…!” kata gembong perampok itu, disambut gelak tawa keempat kawannya. “…huahahahaha…sikat terus Kang…!”

Kemudian dengan berdiri dibelakang tubuh Nadia, gembong perampok itu mengarahkan batang kontolnya yang besar dan hitam keliang vagina Nadia, lalu dengan kasar dan tidak berperasaan menusukkan batang kontolnya dengan sekuat kuatnya, diiringi jeritan dan lolongan Nadia.

“…aaaaaa….sakiiiitt….tolooooong….aaaaaahhhh…!!!”

Dengan penuh nafsunya gembong perampok itu mengenjot vagina Nadia dengan kasar, dan dengan lidahnya menjilati tengkuk dan leher Nadia. Tubuh Nadia terbawa oleh hentakkan hentakkan kontol gembong perampok itu, dan sepuluh menit kemudian dihujamkannya dengan kuat kontolnya keliang vagina Nadia, dan disemprotnya rahim Nadia dengan cairan maninya yang sebagian meleleh di dikaki Nadia.

Melihat gembong perampoknya sudah selesai dengan tubuh Nadia, kemudian dengan secara keroyokkan dan menarik tubuh Nadia keatas rerumputan, dan dengan saling berebutan untuk mendapat giliran pertama mencicipi liang vagina Nadia, dan setelah salah seorang berhasil membenamkan kontolnya yang lainpun berebuta mulut Nadia, untuk bisa merasakan sepongan mulutnya.

Nadia tidak berdaya diantri kelima kawanan perampok itu, dengan satu orang menggarap vaginanya yang satu lagi memaksanya menyepong bontolnya, hingga Nadia muntah muntah, dan yang dua lagi saling berbagi buah dadanya, dan mengenyoti putting susunya secara kasar, hingga dirasakan perih pada putting susunya.

Mang Yogi yang terikat di salah satu pohon, hanya bisa menyaksikan semua kejadian yang dialami majikannya, tanpa bisa menolong. Ada penyesalan dihatinya, seandainya saja ia tidak memarkirkan mobilnya dihutan ini, mungkin tidak akan setragis ini kejadian yang menimpa Nyonya majikannya itu. Tanpa terasa Mang Yogi pun menangisi keegoisannya tadi, dengan memaksa majikannya untuk melayani nafsunya di hutan ini.

Nadia yang harus melayani kelima perampok itu secara bergantian, akhirnya pingsan dengan menyisakan satu pemerkosanya yang masih memompa liang vaginanya dengan kasar dan sadis. Penderitaan Nadia belum berakhir sampai disitu, setelah kelima perampok itu kebagian jatahnya mencicipi vagina Nadia, mereka lalu membopong tubuh seksi Nadia, yang pingsan itu masuk kedalam hutan, yang sudah mulai gelap.

Sampailah mereka di sebuah gubuk ditengah hutan itu, lalu menyuruh Nadia yang sudah sadar dari pingsannya, untuk mandi dikali sebelah gubuk itu. Nadia yang saat dibawa masuk kedalam hutan itu dalam keadaan bugil, setelah tadi diperkosa secara beramai ramai oleh para perampok itu, dan si gembong perampok itu lalu memberinya sehelai kain batik, yang masih baru, dan masih disegel dengan kemasannya, hasil rampokkannya terhadap juragan batik asal jogja beberapa hari yang lalu.

Nadia dengan badannya yang lemas kemudian dipaksa oleh gembong perampok itu untuk segera mandi, dengan terus diawasinya dipinggiran kali dangkal itu. Dengan menahan dinginnya air sungai itu Nadia menuruti perintah gembong perampok itu untuk mandi, kulit Nadia yang putih dan sangat mulus itu terlihat berkilat di bawah cahaya bulan, dan mata gembong perampok yang dari tadi mengawasinya terus menatap seluruh lekukkan tubuh seksi tawanannya itu.

Melihat Nadia sudah selesai dengan mandinya, lalu ia menghampiri Nadia yang terlihat kesulitan berjalan dipinggiran kali, lalu dengan tangannya gembong perampok itu mengangkat dan membopong tubuh Nadia. Begitu sampai di depan gubuk dia berkata kepada keempat anak buahnya dengan masih membopong tubuh Nadia,

“…malam ini kita lewati dengan menikmati tubuh mulus dan seksi perempuan Jakarta ini…!” lalu disambut tawa dan tepukkan keempat anak buahnya.

“…hahahaha…siap…Kang…!!!” jawab seorang perampok lainnya.

Setelah berkata demikian lalu sigembong perampok itu membopong tubuh Nadia kedalam kamar digubuk itu, setelah membaringkan tubuh Nadia di bale bambu, lalu dengan kasarnya mulai menindih dan menggumuli tubuh Nadia, mulai dari melumat bibir terus lidahnya menjilati leher jenjang Nadia, dan dengan tangannya meremasi buah dada montok Nadia dengan gemasnya.

Gembong perampok itu mulai menurunkan belitan kain kemben didada Nadia, dan kemudian dengan rakusnya mengenyoti putting susunya, ciumannya kemali turun sampai ketengah selangkangan Nadia, dan dengan menyingkap kain kemben dipaha Nadia ia pun muali menjilati paha mulusnya, hingga kebelahan vagina Nadia yang sudah bersih dari sisa sisa sperma anak buahnya.

Dengan rakusnya lalu dijilatinya liang vagina Nadia, dan dengan tangannya terus merema remas buah dadanya, setelah beberapa saat kemidian gembong perampok itu mengarahkan batang kontolnya keliang vagina Nadia, dan dengan mudah menghujamkan meriamnya secarabertubi tubi kiang vagina Nadia. Genjotan genjotan kasar terus dilakukannya menghentak dan mengguncang tubuh Nadia, hingga sampai menyemburkan lahar panas kerahim Nadia.

“…aaahhh…ssshhh…tempikmu enak tenan…Nduk…!” katanya setelah selesai dengan hajat biologisnya.

Demikianlah malam itu tubuh mulus dan seksi Nadia dijadikan sarana pemuasan nafsu binatang kelima perampok itu, dan Nadia yang tidak memiliki daya apa apa hanya menangis dan menerima semua perlakuan binatang dari kelima perampok itu. Dan malam itu, kelima perampok itu tidak memperkosa Nadia secara keroyokkan, malam itu mereka masuk satu persatu kedalam kamar, dan melepaskan hajat mereka diatas tubuh Nadia hingga pagi.

Siang harinya setelah kelima perampok itu kembali menggilir tubuh montok Nadia didalam kamar, mereka mengantarkan Nadia kembali kemobilnya, dan melepaskan ikatan Mang Yogi, dan menyuruh mereka pergi meneruskan perjalanannya menuju Jakarta.

Sungguh tragis memang kejadian kejadian yang menimpa Nadia, hingga saat ini Nadia harus menjalani perawatan dirumah sakit, karena rusaknya vagina Nadia dan harus dilakukan operasi dan pemulihan yang cukup lama. Suami Nadia begitu terpukul dengan kejadian yang menimpa istri tercintanya itu, dan dengan setia selalu menemani istrinya yang terbaring dirumah sakit.

Tidak seperti pada malam malam sebelumnya, Mas Woko tidak bisa menemani istrinya dirumah sakit karena harus mengurus bisnisnya diluarkota, dan ia meminta Mang Yogi untuk menggantikannya menemani istrinya dirumah sakit. Dan malam itu Mang Yogi pun menemani Nadia yang sudah dua minggu dirawat di ruangan VIP rumah sakit itu, dan dikamar VIP itu Mang Yogi dengan menonton televisi sesekali melihat dan memeriksa keadaan majikannya itu.

Dan pada saat sekitar jam tiga pagi Nadia membangunkan Mang Yogi, yang tertidur dikursi didepan tivi. “…Mang bangun Mang…saya mau kekamar mandi…!” katanya kepada sopirnya, yang segera bangun dan menuntun majikannya kekamar mandi. Setelah selesai pun dengan sigap Mang Yogi kembali menuntun tangan majikannya itu ke tempat tidur, dan tanpa sengaja tangannya bersentuhan dengan buah dada majikannya yang tidak memakai BH, dan hal itu membuat Mang Yogi terangsang dan kembali menghayalkan kehangatan tubuh seksi majikannya itu sewaktu di kamar penginapan di Malang dan terakhir di jok mobil dipinggir hutan itu.

Pikirannya menerawang kesemua rangkaian kejadian yang menimpa Nyonya majikannya itu, dan hayalan itu semakin membangkitkan gairah sexnya, hingga perlahan ia pun menghampiri ranjang majikannya. Dengan hati hati Mang Yogi kemudian menyingkap baju tidur majikannya, hingga terpampanglah pahanya yang putih mulus, dan dengan perlahan Mang Yogi mulai menciumi dan menjilati paha mulus majikannya yang masih tertidur pulas.

Tindakkan Mang Yogi semakin berani saja manakala majikannya masih tetap pulas dalam tidurnya, dengan perlakuannya itu Mang Yogi kemudian beranjak keatas dan mulai membuka satu persatu kancing baju tidur majikannya itu. Nadia yang memang tidak memakai BH itu, dapat segera terlihat buah dada montoknya oleh Mang Yogi. Dengan perlahan Mang Yogi mulai menjilat dan mengemuti putting susu majikannya, Nadia menggeliat dan terbangun karena merasakan kenyotan diputing susunya, ia pun kaget mengetahui apa yang tengah dilakukan Mang Yogi sopirnya itu.

Mang Yogi yang juga kaget melihat majikannya terbangun, lalu dengan reflek membekap mulut majikannya dengan tangannya, dan berbisik didepan wajah majikannya itu.

“…sssttt…maafkan saya Nyonya…saya tidak kuasa menahan keinginan saya untuk merasakan kembali kehangatan tubuh Nyonya…” kemudian Nadia yang mulutnya masih dibekap tangan sopirnya, hanya bisa menggeleng menolak keinginan sopirnya itu. Dengan perlahan Mang Yogi melepaskan bekapan tangannya dimulut majikannya itu, dan dengan pelan meminta majikannya untuk melayani keinginannya ngesek.

“…ayolah Nyonya…plis…layanin saya…masa saya harus memperkosa Nyonya lagi…?!” katanya sambil meremasi buah dada Nadia.

“…Mang…kamu ngga kasihan sama saya, dengan semua kejadian yang menimpa saya…tega kamu Mang…?!” kata Nadia dengan berlinang air mata.

“…maafkan saya Nyah…saya sudah jatuh cinta sama Nyonya…dan saya ngga bisa melupakan kehangatan tubuh Nyonya yang pernah saya rasakan waktu itu…!” kata kata Mang Yogi serasa mengiris hati Nadia.

Kemudian dengan mulai naik keatas ranjang Mang Yogi mulai melumat bibir majikannya itu, sambil tanganya terus meremas remas buah dadanya yang montok, dan Nadia hanya bisa menangis menerima kenyataan, sopirnya telah dengan tega memaksanya untuk melayani nafsu birahinya, yang saat ini ia masih dalam masa pemulihan akibat perkosaan dihutan itu.

Mang Yogi kini sudah menghabisi sisa kancing yang masih menutup dibaju tidur majikannya, dan mulai merangsek ketengah selangkangan majkannya dengan menjilati belahan memeknya dari luar CDnya. Perlakuan Mang Yogi tidak kasar seperti yang pernah ia lakukan waktu itu, kali ini ia memperlakukan majikannya dengan penuh kelembutan, dan itu membuat Nadia mulai terpejam menikmati sentuhan dan jilatan jilatan sopirnya itu.

Trik yang dilakukan Mang Yogi membuahkan hasil, dengan perlakuan lembutnya telah dapat membangkitkan rangsangan yang mulai menjalari tubuh majikannya itu. “…sssshhh…ooohhh…sssshh…aaahh…!” Nadia mulai mendesah dan tidak dapat menyembunyikan rangsangan ditubuhnya. Mang Yogi mulai menurunkan CD majikannya secara perlahan, dan pelan pelan mulai membuka kedua kakinya, lalu dengan tangannya menuntun batang kontolnya yang sudah kaku seperti kayu itu, ke mulut vagina majikannya.

Dengan dorongan pelan Mang Yogi berhasil menyarangkan burungnya kedalam sangkar kenikmatan majikannya, dan ia pun mulai menggenjot vagina majikannya dengan perlahan, dan dengan mulutnya yang masih menggelayuti buah dada majikannya, semakin membuat majikannya terhanyut oleh geolan dan goyangan sopirnya itu.

“…ssshhh…aaaahhh…Maaang…ooohhh…ssshhh…!”

desahan Nadia membelah heningnya pagi dikamar rumah sakit itu, Mang Yogi masih terus aktif membom bardir daerah pertahanan majikannya dengan rentetan serangannya diliang vaginanya. Akhirnya dengan mempercepat hujaman batang kontolnya Mang Yogi si sopir sialan itu menumpahkan, spermanya dikedalaman rahim majikannya.

“…oooohhh…Nyonyaku sayang…crot…crot…crot…!” racaunya ketika klimaks itu datang.

Nadia hanya melamun dan sesekali masih menangisi nasibnya yang harus menghadapi cobaan yang begitu berat, setelah semua rangkaian kejadian yang menimpanya, selalu terbayang dipelupuk matanya.

Dan pagi itu terjadi lagi pendarahan di vagina Nadia, dan membuat heran seorang dokter yang menangani pengobatan dirinya. Dokter itu mendapati sisa cairan sperma di dalam rahim Nadia, dan setelah beberapa hari kemudian Dr. Kentus mendatangi kamar VIP tempat Nadia pasiennya menginap.

Pada kesempatan itu sehabis memeriksa keadaan Nadia, Dr. Kentus dengan pelan menanyakan kepada pasiennya itu, “…eehhmm…Nyonya Nadia…kemarin sewaktu anda mengalami pendarahan lagi…saya menemukan sisa sperma yang tertinggal dirahim anda…dan saya tahu pada hari itu suami anda sedang tidak menunggui anda, jadi sperma siapakah itu…?” Tanya Dr. Kentus dengan nada vonisnya.
Nadia bagai tersekat tenggorokkannya demi mendengar ungkapan Dr. Kentus, lalu dengan suara serak Nadia mancoba menjelaskan.

“…eengh…aa…aanu..Dok…eenngghh…” Nadia tidak kuasa meneruskan kata katanya.
Dr. Kentus memahami hal itu, dan tahu ada yang disembunyikan oleh pasiennya itu, kemudian dengan tangannya Dr. Kentus mulai memegang tangan Nadia seraya mengatakan. “…anda tidak usah khawatir…saya tahu anda telah menyerahkan miss “V” anda kepada seseorang…malam itu…!” jelas Dr. Kentus seraya mendekatkan wajahnya ketelinga pasiennya itu, dan berbisik.

“…rahasia anda akan aman…asal…?!” Dr. Kentus tidak melanjutkan bisikkannya, tapi diteruskannya dengan menjilat daun telinga dan terus turun dan mulai menjilati leher jenjang Nadia, dan dengan tangannya yang mulai hinggap di buah dadanya meremas dan meremas lagi….

“…ah…lagi lagi…” gumam Nadia di dalam hatinya…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar